Home » , » Generasi muda, generasi global,

Generasi muda, generasi global,

Unknown | 11.52 | 0 komentar
PERINGATAN sumpah pemuda tahun ini di diperkaya Kompas (30 Oktober) dengan sebuah jajak pendapat mengenai idealisme kaum muda. Disinyalir bahwa semangat muda pada umumnya mulai meredup. Menurut jajak pendapat itu, generasi muda dewasa ini tidak lagi dilihat dan dinilai sebagai kelompok yang memperparah kerukunan dalam masyarakat. Hasil jajak pendapat ini mesti menjadi satu masukan yang serius untuk mempertimbangkan pendampingan terhadap kaum muda. Untuk itu, dibutuhkan pemahaman yang jujur mengenai kondisi kaum muda dewasa ini. Kaum muda tidak dapat dipersalahkan begitu saja.



Generasi muda kita adalah generasi yang mengalami secara intensif akibat dari runtuhnya berbagai batas yang secara tradisional mendefinisikan sebuah kelompok masyarakat. Batas yang dirasakan agaknya lebih luas terbentang antara generasi tua dan generasi muda dalam lingkup budaya yang sama, daripada batas yang terbentang antara orang-orang muda dari lingkaran budaya berbeda. Secara spontan generasi muda kita lebih mudah menemukan ekspresi dirinya di dalam tarian dan musik generasi muda dari luar, daripada di dalam lantunan syair dan gerak tarian budayanya sendiri. Sejumlah kaum muda memang masih melantunkan syair daerah dan mengadakan tarian budaya tetapi itu lebih merupakan sebauh pengecualian.

Namun sebagai generasi global generasi ini mesti menghadapi kemenduaan yang sering dialami di dalam globalisasi. Globalisasi memang di satu pihak dialami sebagai sebuah proses kehadiran berbagai pengaruh lain yang memperkaya, yang justru membantu sebuah kebudayaan menyatakan dirinya secara lebih jelas. Di hadapan tawaran pengaruh berbagai kebudayaan lain, satu kebudayaan ditantang untuk membenah diri. Berbagai elemen budaya yang membelenggu dapat diubah berkat pertemuan dengan budaya-budaya lain. Di dalam globalisasi yang dipahami seperti ini terjadi pembebasan dari kungkungan penguasaan sewenang-wenang oleh pihak-pihak tertentu.

Tidak jarang, globalisasi, untuk banyak wilayah dunia dan sebagaian manusia, dialami sebagai pengambilalihan sejumlah pola pikir dan ungkapan perasaan dan pikiran dari luar, sementara sebagian besar pikiran dan ekspresi perasaan dan pikiran masih berada di bawah penentuan tradisi lama. Orang mengambil alih sejumlah hal dan menempelkannya pada sebuah sosok yang mempunyai mentalitas yang lain. Misalnya: kita mengambil alih musik berat dari barat, tetapi kita tidak memperhatikan bahwa di barat musik dimainkan dalam ruangan yang rata-rata memiliki peredam suara, sehingga orang lain tidak mesti sangat terganggu. Kitamengambil alih kebiasaan menciptakan tempat-tempat hiburan seperti biliar. Tetapi hal baru itu kita tempelkan pada mental santai kita, sehingga dengan agak mudah orang menjadikan hiburan sebagai pekerjaan utamanya. Dan lebih parah lagi, tempat-tempat hiburan itu ada di tengah-tengah kampung, sementara orang bermain di sana terkadang semalam suntuk. Generasi mudah kita dapat terbawa oleh kebiasaan seperti ini.

Di dalam menghadapi masukan dari luar, sering terjadi bahwa generasi muda menjadi tidak realistis. Seperti dikatakan di atas, dia mengimpikan apa yang dialami oleh generasi muda di tempat lain, tetapi dia tidak memperhatikan lingkungannya. Dia menjadi asing di depan kenyataan sendiri. Dia adalah generasi yang teralienasi.

Karena itu dia menjadi apatis terhadap berbagai isu di dalam masyarakatnya. Kenyataan ini bukan cuma disebabkan oleh kebudayaan kita yang masih terlalu kurang menghargai orang muda dan melibatkan mereka dalam berbagai penyelesaian persoalan, tetapi juga karena orientasi generasi muda sendiri. Globalisasi sepertinya membawanya pergi dari perhatian terhadap keadaan masyarakat sendiri.

Dunia pendidikan di dalam era globalisasi juga mengalami globalisasi sebagai sebuah tugas penuh ambivalensi. Di satu pihak, dunia pendidikan sebenarnya sudah banyak dibantu dengan adanya arus informasi dan perluasan akses informasi. Hal ini berperan besar dalam memperluas cakrawala kaum muda. Dengan mudah orang memperoleh dan menyimpan informasi tentang berbagai hal. Pada pihak lain muncul persoalan besar berkenaan dengan pertanyaan, mau diapakan semua informasi itu.

Saya kira, ungkapan 'banjir informasi' itu mengungkapkan secara cukup baik tantangan pendidikan di era global. Aliran air yang biasa dan banjir pada tingkat tertentu dapat digunakan untuk sesuatu yang berguna. Namun, seperti banjir yang deras dapat membobolkan sebuah bendungan yang bertugas meregulasikan arus air, demikian pun banjir informasi dapat saja membobolkan ketahanan orang, menyapu bersih segala yang tak kuat dan menyisakan keporak-porandaan. Kalau demikian, bagaimana banjir informasi itu dialami dan digunakan akan sangat bergantung ketahanan bendungan. Pendidikan mempunyai peranan yang ambivalen terhadap bendungan. Di satu pihak pendidikan mesti berhadapan dengan bendungan yang ada pada seseorang. Karena sudah terbentuk dalam lingkungan tertentu, seorang peserta didik sudah membangun tendensi-tendensi resistensi sesuai dengan nilai dan ideal yang diinternalisir dari lingkaran budayanya.

Tendensi resistensi ini dapat sekian kuat, sehingga orang menolak segala yang lain, yang baru, yang datang dari luar. Orang tidak mau belajar karena hanya mau mempertahankan apa yang telah dimilikinya, karena sudah merasa puas denganapa yang telah ada. Di sini peran pendidikan perlu mengambil bentuk kritik kebudayaan. Pendidikan mesti menjadi banjir yang membobolkan benteng pertahanan yang terlalu kuat itu. Melalui pendidikan orang mesti dapat mengenal kerangka berpikir tradisionalnya, dan kalau perlu, mengoreksi kerangka berpikir itu apabila dia tidak sanggup lagi menjelaskan berbagai fenomena baru yang dialami di dalam kehidupan dan dunia.

Tetapi pendidikan pun harus membantu menyusun ketahanan baru, mengangkat dan merumuskan nilai-nilai baru atau memperbaharui nilai-nilai lama yang akan berfungsi sebagai penyekat untuk menyaring arus informasi. Melalui pendidikan orang perlu dibantu untuk menyusun sebuah kerangka nilai dan pengetahuan, ketajaman kritis akal dan kepekaan nurani, agar dapat secara kritis menilai tawaran informasi. Generasi muda perlu dibantu untuk memiliki kriteria penilaian moral di dalam dirinya sendiri. Hal ini merupakan sebuah persoalan besar, karena kita hidup di tengah sebuah kebudayaan, yang memberikan fungsi hati nurani kepada pihak luar seperti guru, polisi, pastor.

Untuk mengarahkan pendidikan kepada sebuah pendidikan yang menumbuhkan otonomi, kita harus beralih dari pendidikan bertujuan memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada orang, sebab tawaran informasi itu sudah diperoleh melalui berbagai jalur lain. Pendidikan mesti secara sadar mengarahkan orang untuk menilai informasi secara kritis. Mengumpulkan informasi sebanyak-banyak tidak lagi menjadi tujuan pendidikan di dalam era globalisasi. Yang menjadi tujuan pendidikan adalah kesanggupan untuk memilah-milah informasi. Kita mesti memperhatikan perubahan paradigma pendidikan ini: dari pengumpulan informasi menjadi kesanggupan menggunakannya. Karena itu, yang perlu diperhatikan di dalam pendidikan bukannya banyak informasi atau bahan yang diberikan kepada generasi muda, melainkan latihan berpikir kritis untuk menganalisis masalah.

Otonomi pendidikan yang banyak dibicarakan sekarang adalah satu bentuk jawaban yang hendak diberikan atas persoalan kita. Saya tidak memahami otonomi pendidikan terutama di dalam kerangka otonomi daerah, artinya di dalam kerangka hak yang lebih besar yang dipercayakan kepada daerah untuk mengatur dirinya. Bahwa otonomi daerah membantu perwujudan otonomi pendidikan, adalah sesuatu yang kita harapkan. Yang saya maksudkan dengan otonomi pendidikan adalah sebuah pengertian harafiah: otonomi sektor pendidikan dari kooptasi sektor lain. Di dalam era globalsiasi absolut dari dominasi sektor ekonomi.

Otonomi pendidikan adalah sebuah langkah pembebasan dunia pendidikan, agar cita-cita pendidikan sebagai pendidikan yang membebaskan dapat tercapai. Kita tetap memperhatikan faktor ekonomi dalam pemikiran arah pendidikan, tetapi pendidikan kita tidak pertama-tama bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar, melainkan menciptakan pasar. Dengan pendidikan kita juga hendak menghasilkan manusia-manusia yang sanggup menjadi pelaku ekonomi yang jeli menangkappeluang usaha. Tetapi itu bukan satu-satunya misi pendidikan. Hemat saya, otonomi daerah mesti dipahami untuk menunjang otonomi pendidikan dalam pengertian ini, agar di daerah otonomi yang lebih besar diberikan kepada sektor pendidikan untuk memikirkan tujuan dan menyusun langkah-langkah perwujudannya.

Persoalan lain yang dihadapi oleh generasi muda berkenaan dengan pendidikan adalah kenyataan pengaburan cita-cita pendidikan karena berbagai praktek yang mematikan motivasi belajar. Kematian motivasi ini terjadi secara perlahan dan di luar kontrol kesadaran, namun mempunyai akibat yang fatal. Kenyataan meningkatnya jumlah pengangguran para akademisi akan melontarkan pertanyaan besar kepada orang-orang muda tentang kegunaan pendidikan formal yang menuntut biaya tinggi. Demikian pula praktek KKN secara mendasar turut melemahkan keinginan belajar generasi muda.

Apabila banyak orang terdidik menggunakan statusnya untuk memperbodoh masyarakat, maka orang-orang muda yang masih memiliki idealisme akan bertanya secara serius, entahkah mereka perlu mengikuti pendidikan formal seperti ini? Juga, kalau kriteria untuk memperoleh pekerjaan di dalam masyarakat tidak ditentukan oleh kualifikasi pendidikan melainkan ikatan keluarga dan jumlah sogok, maka minat untuk belajar bagi generasi muda dari keluarga-keluarga sederhana tanpa koneksi akan diperlemah.

Memperhatikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh generasi muda di dalam era globalisasi dan secara khusus karena menghadapi berbagai tendensi dan kebiasaan di dalam masyarkaat kita, maka yang perlu menjadi opsi dasar untuk pendidikan bagi generasi muda.

Di dalam era globalisasi dan reformasi ini kita perlu menata dunia pendidikan secara mandiri agar pendidikan jangan menjadi lahan pemandekan pemikiran kritis. Yang kita butuhkan adalah orang-orang yang otonom, manusia yang sanggup berpikir sendiri dan memiliki hati nurani yang belum disewakan kepada pihak lain. Otonomi tidak sama dengan kesewenangan-wenangan atau sesuka hati. Otonomi berarti memberikan kepada diri sendiri sebuah hukum, nomos. Pribadi yang otonom menentukan sebuah arah untuk dirinya, mengikat diri pada arah itu dan mengarahkan diri untuk mencapai penentuan arah, kesanggupan mengikat diri, dan kecapakan mengkoordinasikan diri demi sesuatu.

Otonomi mensyaratkan suasana kebebasan. Orang mesti dibebaskan dari tekanan luar untuk dapat secara pribadi menentukan sendiri arah tindakan dan gagasannya. Hanya di dalam suasana kebebasan, tuntutan tanggung jawab atas diri mempunyai landasan pembenaran. Tetapi itu tidak berarti, bahwa pribadi yang otonom harus dijauhkan dari segala macam arus informasi yang menantang dan menawarkan berbagai kerangka pemikiran. Otonomi tidak berarti, bahwa setiap orang harus menciptakan sendiri sebuah kerangka kehidupan yang sama sekali baru. Selain ituhal ini merupakan sebuah kemustahilan, hal ini pun tidak dibutuhkan. Yang terpenting di dalam otonomi adalah bahwa orang menentukan sendiri sebuah kerangka pemikiran dan tindakan.

Pribadi yang otonom seperti ini tidak terperangkap dalam sikap budaya yang tradisional, yang mempertahankan atau menghidupkan sesuatu dari tradisi hanya karena itu adalah tradisi. Sebaliknya, dia akan sanggup menghadapkan tradisi itu pada nilai-nilai universal yang dihirupnya dari perjumpaan dengan berbagai gagasan baru. Dia akan mempertanyakan tendensi perjajahan dan pendominasian yang mungkin masih ada dan melekat di dalam tradisi budayanya. Dari pribadi yang demikian kita dapat mengharapkan sebuah transformasi kebudayaan. Pribadi seperti ini pun tidak akan menerima tanpa komentar segala yang datang dari luar. Dia akan mempertanyakan mereka yang termarginalisasi dalam tendensi penyeragaman di era globalisasi. Dari kesadaran akan mereka yang terdepak ini akan muncul sebuah penentuan kodeks yang diterima dan diiyakan secara pribadi, kepadanya tindakan dan pikiran diarahkan

Manusia yang memberikan hukum, nomos kepada diri sendiri adalah manusia yang belajar mengenal dan mengetahui apa yang dikehendakinya, apa yang menjadi kemampuannya. Dia adalah orang yang tahu menghargai dirinya. Untuk maksud itu, perlu dipikirkan secara serius pendekatan pendidikan yang meyakinkan anak muda akan nilai dirinya dan membantunya menemukan bakat dan kemampuannya.

Pengadaan jalur pendidikan keterampilan dan pendidikan khusus sangat dibutuhkan untuk itu. Manusia yang otonom adalah manusia yang menemukan kesanggupannya dan belajar menghargai kemampuan itu pada waktunya. Otonomi pribadi terungkap di dalam otonomi pemilihan jalur pendidikan. Termasuk di dalam tugas penanaman otonomi pribadi adalah peningkatan penghargaan terhadap berbagai jenis pekerjaan tangan. Kita masih terlalu memandang pekerjaan tangan dan kasar sebagai pekerjaan yang terpaksa dipilih karena tidak ada kemungkinan lain. Karena itu, orang-orang yang melakukan pekerjaan ini sering bekerja secara terpaksa tanpa minat untuk menambah keterampilannya. Selama orang menjadi tukang batu hanya karena tidak atau mendapat kesempatan untuk menjadi pegawai negeri, maka dia tidak akan meningkatkan keterampilannya bertukang batu. Ukuran SDM bukan hanya didasarkan pada tingkat kelulusan sekolah, melainkan juga pada tingkat keterampilan khusus yang diperoleh seseorang lewat pendidikannya. Memiliki keterampilan seperti ini akan memperkuat rasa percaya diri seseorang, dan pada gilirannya rasa percaya diri ini akan membantunya bertahan berhadapan dengan berbagai pengaruh lain.

* Penulis, staf pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores
Share this article :

14 0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan Jejak Dengan Berkomentar ya! Terimakasih

Daftar Kategori


close
cbox
 
Alamat: Talun | Ngebel | Ponorogo
Copyright © 2011. PUISI DAN PENDIDIKAN - All Rights Reserved
Template Modify by Cah Ngebel
Proudly powered by Blogger